SEKUAT BOTOL JAMU
Oleh : Winarsih
Matahari terik yang membakar
kulit, asap knalpot yang menyesakkan nafas,
tak dirasakan lagi oleh Mbok Jami, baginya itu adalah makanan
sehari-hari yang tak dapat ia hindari. Ia terus menyusuri sepanjang jalan
dengan puluhan botol jamu yang sedang ia gendong. Ya iyulah pekerjaanya sebagai tukang jamu.
“jamu,,,,jamuuu,,,jamuu” suaranya yang serak mulai terdengar.
“jamu,,,jamuu” suaranya mulai terdengar melemah bagai hp
yang lowbet.
Keringat yang mengalir di dahi Mbok Jami diusap-usap
dengan kain handuk, sedari pagi Ia belum beristirahat, ia memutusakan untuk
beristirahat sejenak di bawah pohon
beringin yang besar nan rindang.
Saat
beristirahat Mbok Jami tertidur sejenak , ia terbuai angin
semilir dan bunyi bising suara kendaraan bermotor. Setelah beberapa saat ia
tertidur, tiba-tiba ia dibangunkan oleh bunyi adzan. Dan iapun memutuskan untuk
pulang.
Setelah
menempuh perjalan yang cukup jauh, akhirnya Mbok Jami sampai di rumah. Ia
bergegas untuk membersihkan diri, lalu mengambil mukena dan ia menjalankan
kewajibanya shalat Dzuhur. Ketika ia
hendak kembali untuk berjualan jamu, badanya terasa sangat lemas, ia merasa
meriang, kepalanya berkunang-kunang. Ia merasa dilema apakah ia harus
melanjutkan berjualan atau beristirahat di rumah, saat memandangi botol-botol
jamu Mbok Jami berfikir apabila ia tidak berjualan maka ia bisa beristirahat di
rumah, akan tetapi siapa yang akan menjual jamunya.
“Jamu-jamu
ini harus di jual” katanya
“Aku punya anak, aku punya tanggung jawab” lanjutnya
Mbok Jami ingin menangis, satu botol jamu sama dengan
uang saku anakku, apabila semua botol jamu dapat ia jual maka lumayan pula
penghasilan yang ia dapatkan. Akhirnya ia memutusakan untuk minum obat dan
beristirahat sebentar, dan ia akan melanjutkan berjualan setelah merasa
mendingan. Mbok Jami berusaha kuat, sekuat botol jamu.