Selasa, 08 Oktober 2013

Winarsih



SEKUAT BOTOL JAMU
Oleh : Winarsih


Matahari terik yang membakar kulit, asap knalpot yang menyesakkan nafas,  tak dirasakan lagi oleh Mbok Jami, baginya itu adalah makanan sehari-hari yang tak dapat ia hindari. Ia terus menyusuri sepanjang jalan dengan puluhan botol jamu yang sedang ia gendong. Ya iyulah pekerjaanya sebagai tukang jamu.
“jamu,,,,jamuuu,,,jamuu” suaranya yang serak mulai terdengar.
“jamu,,,jamuu” suaranya mulai terdengar melemah bagai hp yang lowbet.
Keringat yang mengalir di dahi Mbok Jami diusap-usap dengan kain handuk, sedari pagi Ia belum beristirahat, ia memutusakan untuk beristirahat  sejenak di bawah pohon beringin yang besar nan rindang.

                   Saat beristirahat  Mbok  Jami tertidur sejenak , ia terbuai angin semilir dan bunyi bising suara kendaraan bermotor. Setelah beberapa saat ia tertidur, tiba-tiba ia dibangunkan oleh bunyi adzan. Dan iapun memutuskan untuk pulang.

                   Setelah menempuh perjalan yang cukup jauh, akhirnya Mbok Jami sampai di rumah. Ia bergegas untuk membersihkan diri, lalu mengambil mukena dan ia menjalankan kewajibanya shalat Dzuhur. Ketika  ia hendak kembali untuk berjualan jamu, badanya terasa sangat lemas, ia merasa meriang, kepalanya berkunang-kunang. Ia merasa dilema apakah ia harus melanjutkan berjualan atau beristirahat di rumah, saat memandangi botol-botol jamu Mbok Jami berfikir apabila ia tidak berjualan maka ia bisa beristirahat di rumah, akan tetapi siapa yang akan menjual jamunya.

                   “Jamu-jamu ini harus di jual” katanya
“Aku punya anak, aku punya tanggung jawab” lanjutnya
Mbok Jami ingin menangis, satu botol jamu sama dengan uang saku anakku, apabila semua botol jamu dapat ia jual maka lumayan pula penghasilan yang ia dapatkan. Akhirnya ia memutusakan untuk minum obat dan beristirahat sebentar, dan ia akan melanjutkan berjualan setelah merasa mendingan. Mbok Jami berusaha kuat, sekuat botol jamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar